Minggu, November 23

dimuat di Koran Sindo Edisi 11 Nov 2008 dengan Judul SANG KESATRIA

Sindrom Obamaholic

Desty Eka Putri

Semua bersorak-sorai atas terpilihnya presiden keturunan Afro-Amerika, Barack Obama. Tidak hanya warga Amerika yang bersorak gembira tapi sindrom ini sudah mewabah ke berbagai belahan dunia. Obama membuat semua bergetar, Obama menularkan energi luar biasa ke seluruh penjuru dunia dan berbagai lapisan masyarakat. Membuat yang benci menjadi cinta, menyatukan dua perbedaan menjadi satu, dan membuat hal yang tidak mungkin menjadi mungkin, luar biasa! Warga Amerika Serikat memberikan contoh luar biasa untuk kita semua. Warga Amerika membuktikan kecintaan pada negaranya dengan membantu proses demokrasi berjalan lebih arif dan bijaksana tanpa melihat siapa tapi apa yang akan diberikan, diusahakan, diperjuangkan untuk bangsanya. Karena cinta yang besar itu mereka rela mengesampingkan ego pribadi dan golongan untuk saling berjabat tangan demi satu tujuan untuk Amerika. Sekarang pertanyaannya bisakah Negara kita melakukan hal tersebut? Menggetarkan seluruh warga Indonesia, menyalurkan energi positif ke seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang status sosial, walau tidak ke seluruh penjuru dunia seperti Obama tapi cukup di negri kita saja.

Barack Obama menerima kemenangannya dengan penuh kegembiraan dengan tetap rendah hati. Di dalam pidato kemenangnnya Obama berterima kasih kepada John McCain dan berjanji untuk tetap menjalin kerja sama demi Amerika. John McCain dalam pidato kekalahannya, mengucapkan selamat pada Obama atas kemenangan yang di dapat, McCain juga memuji kebesaran jiwa Obama serta menghimbau para pendukungnya untuk dapat memberikan kata selamat dan mendukung Obama di masa kepemimpinannya. Kita lihat begitu besarnya jiwa kedua tokoh ini, saling memberi selamat dan menyemangati, semoga saja ini bukan sekedar retorika belaka. Mungkin jika kita lihat pidato yang ditayangkan di beberapa stasiun televisi terlihat ketulusan di raut wajah mereka, walau hal ini mungkin sulit bagi McCain tapi dia mengatakan kekecewaan adalah wajar.

Lagi-lagi contoh dari ketulusan hati akan kembali ke hati. Dari pemilu AS dapat kita lihat petapa pembelajaran yang berharga di dalam menyikapi permasalahan, kalah menang adalah biasa. Pertanyaannya mampukah kita menjadi seseorang yang bisa menerima kekalahan dengan lapang dada? Bisakah yang menang merangkul yang kalah untuk bekerjasama untuk tujuan satu’Indonesia’. Seorang kesatria seharusnya tidak berpikir bagaimana ia memenangkan diriya dengan cara mengalahkan (baca: membunuh) lawannya tetapi seorang kesatria adalah seseorang yang menaklukan lawannya untuk dijadikan seorang kawan. Butuh kebesaran jiwa yang luar biasa untuk hal ini. Mampukah para elit politik kita melakukan hal tersebut? di dalam sebuah hadis disebutkan “tidak dikatakan beriman seseorang sebelum ia mecintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” ini adalah pelajaran sikap seorang yang gentle dalam menghadapi segala situasi dengan tetap berani.

Sindrom Obamaholic mungkin istilah ini sangat tepat dalam situasi sekarang ini yang tengah dimabuk Obama; mode, pernak pernik, gaya, dan sikapnya menjadi magnet yang menguntungkan banyak pihak termasuk para pedagang dari mulai konfeksi, percetakan sampai tukang kue. Namun yang terpenting adalah semangat juang yang diusungnya “change we can believe in” dan kita pun harus yakin! pinjam saja senjata kampanye Obama “Change we can believe in Indonesia ini adalah tugas kita semua. tanpa kerja keras rasanya semua itu mustahil, wahai para elit polotik Change we need, kali ini meminjam kata-kata warga Amerika yang sama seperti Indonesia yang memimpikan perubahan dan Obama menjawab “yes we can” lalu pemimpin kita menjawab?

Desty Eka Putri Sari, Mahasiswi semester 5 Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) 5 B. Fakultas Dakwah dan Komunikasi. UIN Syahid Jakarta. Aktif di Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Banten.